Tanggal Lahir yang Tak Direncanakan oleh Kalender
Yuwanda Efrianti
Peserta Sibac-Sip Australia
“Selembar ijazah bisa membawa ke kursi wawancara, tapi tidak semua kursi menghadap ke jendela dunia.” – Abdullah Khusairi
Tanggal 5 adalah kelahiran. Tanggal 6 adalah kelayakan. Dua hari yang jaraknya hanya sehelai takdir, menjahit waktu dengan benang prestasi. Di usia yang ke-20, tentu ini membuat siapa-pun tidak hanya menua secara angka tapi menua secara makna. Hari itu, bumi tidak bergeser, matahari tetap terbit dari timur, tetapi semesta seperti mengubah rotasi. Sebuah surel bernama kelulusan program SIBAC SIB menuju Australia, datang menggugurkan logika hari biasa.
Kado ulang tahun paling absurd dalam sejarah kecil ini. Hadiah yang tidak bisa dibungkus kertas, hanya bisa dibungkus syukur. Kado yang tidak diminta, tapi disiapkan Tuhan jauh sebelum aku tahu namaku layak diloloskan. Di negeri ini, berapa banyak anak muda yang sedang ulang tahun tapi yang datang bukan kabar baik, melainkan kabar bahwa kampusnya masih belum akreditasi? Atau bahwa ayahnya harus menjual sawah demi semester berikutnya?
Menurut data BPS (2024), hanya 4,5% dari 281 juta penduduk Indonesia yang berhasil menyelesaikan jenjang sarjana. Lebih miris lagi, 842.378 di antaranya malah menganggur. Di negeri ini, ijazah bukan lagi tiket ke masa depan, melainkan kartu antre untuk menunggu giliran keberuntungan. Teringat ungkapan Abdullah Khusairi, bahwa selembar ijazah hanyalah “cetak data diri di atas kertas buram yang diwarnai drama.” Tapi bagaimana jika selembar kertas itu bisa berubah menjadi visa? Apakah masih kita sebut sebagai biasa?
Aku, anak dari rumah yang tak berpilar megah, lahir dari ekonomi serabutan, tumbuh dari rapuhnya harapan, dan kini akan terbang ke negeri kangguru itu. Tapi ini bukan mimpi. Ini realita yang dibungkus disiplin, dibalut doa ibu, dan dikuatkan tekad yang tidak pernah punya pilihan kedua selain sukses.
Kepergian ini bukan untuk pelesir. Ini ziarah akademik. Untuk melihat bagaimana bangsa lain membungkus ilmu dengan keberanian, bukan dengan kebetulan, untuk melihat bagaimana sistem pendidikan bukan hanya soal menghafal, tapi mengubah. Ini bukan perihal berangkat membawa nama universitas, tapi lebih dari itu, ketika membawa nama kelas sosial yang jarang punya tiket pesawat, apalagi paspor.
Maka ini merupakan saksi bahwa bukan hanya anak pejabat yang bisa sampai luar negeri. Anak buruh pun bisa, jika diberi kesempatan, dan jika ia menolak tunduk pada statistik. Jika tanggal lahir ini tercatat di negara maka keberangkatan ini tercatat di sejarah kecil hidupku sendiri. Kelak, jika hidup bertanya kapan aku lahir kembali sebagai manusia akademik, maka jawabanku bukan 5 Mei. Tapi: Tanggal Lahir yang Tak Direncanakan oleh Kalender.