Berjuang Menjadi Manusia Akademik yang Tak Biasa

Ada yang bilang, kampus adalah tempat menuntut ilmu. Tapi ada juga yang bilang, kampus adalah tempat belajar menjadi manusia seutuhnya. Barangkali keduanya benar. Karena dalam perjalanan ini, bukan hanya teori yang dicatat, tapi juga nilai-nilai yang diam-diam tumbuh dalam diri.

Menjadi manusia akademik bukan sekadar tentang gelar, indeks prestasi, atau seberapa banyak seminar yang diikuti. Lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana seseorang membangun cara berpikir yang jernih, menjaga kejujuran dalam proses belajar, dan terbuka pada perbedaan pandangan. Karena pada akhirnya, ilmu tak hanya soal mengerti, tapi juga soal mengolah dan memaknai.

Teringat saat mengikuti Student Literacy Camp (SLC) di UIN Imam Bonjol Padang menjadi titik awal yang membuka mata. Di balik jadwal padat dan diskusi panjang, ada ruang-ruang hening yang diam-diam mendidik. Di sana, kami belajar tentang bagaimana menyusun argumen yang masuk akal, bagaimana menggunakan referensi secara etis, dan bagaimana menulis bukan sekadar menyampaikan, tapi membangun pemikiran.

Banyak yang bilang, menulis itu susah. Tapi ternyata, yang lebih susah adalah jujur pada pikiran sendiri. SLC pelan-pelan mengajarkan bahwa menulis bukan hanya soal teknis, tapi tentang keberanian untuk berpikir sendiri, mempertanyakan yang biasa, dan mengungkapkan gagasan dengan tanggung jawab. Di dunia akademik, kecepatan memang penting, tapi ketelitian adalah syarat mutlak. Dan SLC melatih keduanya dengan cara yang sunyi namun dalam.

Di sisi lain, Student of Imam Bonjol Academic Community – Smart Internship Program (SIBACSIP) menawarkan pelatihan yang sama sekali berbeda. Di sini tak lagi hanya diajak menulis atau berpikir, tapi juga merasakan langsung denyut dunia luar. Mulai dari pengenalan budaya asing, pelatihan etika komunikasi lintas budaya, hingga pembentukan karakter saat membawa nama kampus ke dunia luar.

SIBACSIP membuka kesadaran bahwa menjadi manusia akademik tak cukup hanya mengandalkan teori dari buku. Dunia di luar sana jauh lebih kompleks, dan kita harus siap berdialog dengannya. Pengetahuan yang tinggi tanpa karakter hanya akan menjadikan seseorang pintar, tapi tidak bijak, dan program ini menjadi ruang latihan untuk keduanya.

SLC mengasah logika dan struktur berpikir, sementara SIBACSIP melatih keberanian dan empati. Seperti dua sayap yang memungkinkan seseorang terbang lebih tinggi, keduanya saling melengkapi. Di satu sisi, kita belajar menata ide, di sisi lain, kita belajar menata sikap. Hasilnya, bukan hanya kesiapan akademik yang meningkat, tapi juga pemahaman tentang bagaimana menjadi pribadi yang utuh.

Manusia akademik sejati bukanlah mereka yang merasa paling tahu, tapi justru yang terus belajar dari siapa saja. Ia tahu bahwa ilmu adalah proses panjang, dan belajar adalah laku yang tak pernah selesai. Ia tidak mengejar nilai untuk dipamerkan, tapi makna yang bisa dibagikan. Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang berilmu bukan seberapa sering ia bicara, tapi seberapa dalam ia memahami.

Perjalanan ini tentu belum usai. Masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki, banyak kegagalan yang akan terjadi. Namun, memilih untuk berjuang menjadi manusia akademik berarti bersedia berjalan lebih pelan, lebih sadar, dan lebih bijak. Di tengah era serba instan, itu bukan hal mudah. Tapi justru karena tidak mudah, maka itulah yang membuatnya berarti.

Dan mungkin, di antara lembar jurnal, jejak pelatihan, dan suara sunyi ruang baca, perlahan kita sedang tumbuh. Bukan sekadar menjadi mahasiswa, tapi menjadi manusia akademik yang tak biasa.