Menghalalkan Porno Pikiran Melalui Like di Facebook

Putra Rahmadani
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam 

Di negeri ini, penyakit tak lagi dirawat tapi ia dipamerkan, dirayakan, lalu ditukar dengan like dan views. Fantasi sedarah bukan lagi kelainan tersembunyi, melainkan tontonan publik yang dikemas rapi jadi “konten hiburan”.

Konten yang seharusnya dimuntahkan, kini ditonton berjuta kali, dan yang lebih gila ini disukai dan diberi panggung.

Platform yang sudah kehilangan fungsi, yang seharusnya menjadi tempat bertukar berita justru menjadi tempat pamer luka yang berdampak menjadi trauma.

Ketika setan punya akun Facebook dan kita menjadi penontonnya. Di zaman ini, kejahatan tidak lagi bersembunyi di lorong gelap. Ia telah naik pangkat berpindah ke layar kaca, mengetik status, lalu tertawa puas melihat ribuan "like" dan "share" berdenting.

Penyimpangan seksual bukan lagi aib yang dikutuk, tapi konten yang dirayakan. Dan yang lebih mengerikan sebagian dari kita menontonnya, bahkan memberinya panggung.

Dia yang dipanggil orang tua justru memberikan luka bagi mereka yang belum mengenal trauma, namun harus direnggut martabatnya di masa balita.

Baru-baru ini, jagat maya diguncang oleh unggahan menjijikkan di grup Facebook bernama Fantasi Sedarah. Seorang pria dengan akun bernama Rieke Jr. secara terbuka mengaku memiliki fantasi seksual terhadap anak kandungnya sendiri yang masih berusia dua tahun.

Ya, dua tahun usia yang bahkan belum bisa memahami apa itu bahaya. Tak hanya berhenti pada pengakuan, ia juga memajang foto anak itu.

Seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia bangga dengan kebejatannya. Dan yang lebih memuakkan, postingan itu mendapat tanggapan.

Ada yang menyukai. Ada yang membalas dengan dukungan. Di sinilah moral benar-benar mati.

Dimana akal sehat mereka?

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lebih dari 2.355 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2023, dengan lebih dari separuhnya adalah kekerasan seksual. Dan itu hanya angka yang terlapor. Di balik layar, masih banyak suara yang terkunci oleh

Ketakutan, rasa malu, atau tekanan dari keluarga sendiri. Mereka tumbuh dalam diam, memikul trauma seumur hidup karena dikhianati oleh darah dagingnya sendiri.

Menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kekerasan seksual pada anak dapat merusak sistem saraf dan perkembangan otak secara permanen. Efek jangka panjangnya mencakup gangguan mental, penurunan kemampuan belajar, hingga perilaku menyimpang saat dewasa. Anak-anak ini kehilangan masa kecil mereka, kehilangan rasa aman, dan lebih tragis lagi kehilangan kepercayaan terhadap manusia.

Namun lebih keji dari pelaku adalah masyarakat yang membiarkan. Kita yang menonton tanpa melawan. Kita yang diam saat konten menjijikkan lewat di timeline. Kita yang hanya mengeluh, tapi tak melaporkan.

Kita yang pura-pura tak lihat, lalu kembali menyantap hiburan seolah tidak ada anak yang sedang menangis diam-diam dalam trauma. Setiap “like” yang kita berikan pada konten amoral adalah persetujuan diam-diam. Setiap ketidakpedulian adalah paku di peti mati kemanusiaan.

Negara harus hadir, bukan cuma muncul saat masalah sudah terjadi, seperti pemadam kebakaran yang datang saat api sudah membesar, tetapi sebagai benteng kokoh yang tak bisa ditembus.

Hukum harus ditegakkan dengan keras dan tanpa kompromi. Para predator anak tak cukup hanya dihukum penjara mereka harus dicabut hak-haknya sebagai manusia. Tak ada rehabilitasi bagi yang membanggakan kekejian ini.

Dan kita, masyarakat, tak boleh duduk manis. Kita harus bersuara. Kita harus menjadikan media sosial sebagai medan perang moral. Laporkan. Serukan. Bongkar. Jangan beri tempat bagi satu pun predator untuk bernafas lega. Jangan biarkan mereka menyebarkan racun ke generasi berikutnya.

Untuk para pelaku: kami melihat kalian. Kami tak akan diam. Kami tak akan lupa. Dunia ini belum mati. Kemanusiaan belum kalah. Dan kalian akan kami lawan, sampai ke ujung jari terakhir yang kalian gunakan untuk menuliskan kebusukan.

Bagikan tulisan ini! Karena diam adalah pengkhianatan. Dan jika kita masih punya hati, maka kita harus memilih melawan, atau menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri.