Hidup Dalam Bayangan Fomo
Nabila Amira
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam
Kita berada di tengah zaman yang apa-apa serba mudah dan cepat, berdampingan dengan dunia digital sehingga segala informasi atau aktivitas seseorang bisa diakses bahkan dengan sentuhan jari.
Media sosial bukan hanya soal hiburan atau bentuk refleksi diri, tetapi bisa menjadi senjata bagi diri sendiri apabila terlalu dalam menyelaminya.
Tak jarang seseorang membagikan pencapaiannya, liburannya bahkan gaya hidup mewahnya yang tanpa kita sadari sekarang itu menjadi standar atau bare minimum seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan baru. Sehingga itu dapat memicu perasaan cemas, krisis identitas, dan perasaan takut tertinggal yang biasanya disebut dengan istilah Fear Of Missing Out (FOMO).
FOMO bukan sekedar rasa penasaran tetapi ia bisa berubah menjadi tekanan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, bahkan bisa berdampak buruk pada kesejahteraan emosional dan fisik. Perasaan FOMO dirasakan oleh semua gen dan umur, namun kebanyakan rentan dialami oleh anak muda.
Seseorang yang mengalami FOMO cenderung selalu merasa tidak puas atas hidupnya, ia terus menerus membandingkan jalan bahkan proses hidupnya dengan orang lain.
Rumput tetangga akan selalu lebih hijau begitu kata pepatah dulu, seolah-olah apa yang mereka miliki lebih indah, lebih aestetik, lebih segar dan merasa layak untuk digapai. Perasaan itu sekarang menjelma menjadi FOMO ketakutan tertinggal momen yang lagi trendi.
Perasaan FOMO apabila dibiarkan akan memicu kecemasan, stress, kewalahan bahkan mismanajemen financial, seseorang yang mengalami FOMO dengan implusif mengeluarkan biaya yang banyak demi check out setelan terkini, top-up, bahkan rela sampai meminjam pinjaman online untuk memenuhi gaya hidup yang mereka bilang itu sebagai “kebahagiaan baru” demi tidak tertinggal euforia tren.
FOMO bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada lingkungan, contohnya yang dilansir oleh SEMAI yaitu FOMO terhadap fashion yang menyebabkan tingginya konsumsi dan permintaan pakaian yang trendi dengan harga yang terjangkau mendorong produksi massal yang berkualitas rendah yang biasa disebut dengan fast fashion sehingga mengakibatkan overproduction dan meningkatnya limbah tekstil, penumpukan sampah, polusi, pemborosan sumber daya dan mikroplastik yang dapat merusak lingkungan.
Lantas apa yang harus kita lakukan agar terhindar dari FOMO? Yaitu membatasi penggunaan media sosial secara berlebihan, mencintai diri sendiri, meningkatkan produktivitas serta melakukan kegiatan yang penuh makna.
Pada akhirnya, FOMO bukan rasa takut tertinggal sesuatu yang trendi, tapi juga sebagai bentuk gambaran bagaimana kita melihat diri sendiri dan apa yang terjadi di sekeliling kita.
Di tengah cepatnya penggerakan tren, sorotan publik, dan pencapaian seseorang, kita sering lupa bahwa hidup bukan arena saling salip, bukan ajang kompetisi siapa yang paling hebat dan bukan panggung pembuktian melainkan hidup itu soal perjalanan dan proses hidup masing-masing dengan tantangan yang tentunya berbeda-beda.
Oleh karena itu, sebelum terpancing untuk senantiasa ikut sesuatu yang trendi, mari berpikir sejenak, apakah ini sesuai dengan kebutuhan dan keingianan yang tulus? Atau sekedar konsumtif dan perasaan takut tertinggal? Mengendalikan FOMO bukan berarti resistensi terhadap perubahan, bukan berarti primitif dan takut keluar dari zona nyaman, tapi mencari tahu mana yang memberi makna serta kebermanfaatan bukan sekedar ikut-ikutan demi sensasi sesaat.
Mari melatih diri untuk fokus hadir seutuhnya untuk diri sendiri, yang mewarnai dan bukan diwarnai atau untuk jadi penonton hidup orang lain. yakin mau dalam bayangan FOMO terus?