Mau Pandai Tapi Malas Terbang?

M. Afif Wafri 
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Suatu hari, dalam sebuah diskusi santai di kantin kampus, seorang  mahasiswa berseru lantang, “Buat apa sih kampus ngirim mahasiswa ke luar negeri? Mending perbaiki dulu fasilitas kampus!” Semua mengangguk mantap, seakan itu pernyataan paling progresif abad ini. Tapi benarkah itu bentuk kritis, 
atau hanya suara bising yang takut bergerak?

Di era globalisasi ini, pendidikan tinggi dituntut untuk melampaui batas  geografis dan mental. Banyak universitas berlomba-lomba mengirimkan mahasiswanya ke luar negeri untuk penelitian, seminar, maupun kolaborasi ilmiah. UIN Imam Bonjol Padang (UIN IB), sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi nasional, mulai melirik hal ini dengan lebih serius mendorong mahasiswa untuk menulis karya ilmiah yang bisa tampil di forum internasional. 

Tapi sayangnya, sebagian mahasiswa malah merespons dengan resistensi. “Wah, itu cuma proyek pamer kampus,” kata sebagian.

“Ngapain juga ke luar negeri, kita di sini saja belum beres,” tambah yang lain.

Sebagai bentuk kritik, tentu sah-sah saja. Tapi kritik yang tidak dibarengi dengan pemahaman menyeluruh hanya akan jadi seperti memarahi hujan karena basah.

Menurut data UNESCO Institute for Statistics (2023), hanya sekitar 0,3% mahasiswa Indonesia yang terlibat dalam mobilitas akademik internasional, sangat tertinggal dibandingkan Malaysia (1,4%) dan Vietnam (0,9%). Artinya, inisiatif seperti yang dilakukan UIN IB seharusnya mendapat dukungan bukan 
sinisme.

Namun memang, banyak mahasiswa hari ini punya kebiasaan menarik: mengkritik sebelum memahami. Padahal, seperti kata filsuf klasik Epictetus, 

“Kita punya dua telinga dan satu mulut agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.” Terlalu sering kritik dilontarkan bukan untuk membangun, melainkan untuk menunjukkan eksistensi.

Lebih ironis lagi, sebagian dari mereka yang menolak program ke luar negeri ini adalah yang mengeluh minimnya peluang riset, jaringan akademik, dan pengalaman internasional.

Lalu saat peluang itu hadir, justru mereka merunduk, atau lebih tepatnya, menyinyir.

Sebuah laporan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022 menyebutkan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam program internasional memiliki peluang kerja dan pengembangan karier 2,5 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah terlibat.

Maka menjadi wajar jika kampus, termasuk UIN IB, mendorong mahasiswa untuk lebih aktif secara global. Bahkan dalam publikasi resmi kampus (meski belum banyak diliput media nasional), terlihat adanya upaya sistematis untuk membina mahasiswa dengan pelatihan, seminar, dan insentif karya ilmiah.

Tapi mengapa respons mahasiswa bisa sedingin kutub? Bisa jadi karena minimnya komunikasi dua arah antara institusi dan mahasiswa. Bisa juga karena mahasiswa kita sudah terlalu akrab dengan budaya 

“cepat curiga, malas klarifikasi”. Akibatnya, setiap kebijakan yang terdengar ‘ambisius’ dianggap mencurigakan.

Saatnya kita belajar dari pepatah Arab yang sering dikutip di dunia akademik: “Man jadda wa jada” siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil. Dan sungguh, tidak ada yang lebih menyesakkan daripada melihat peluang emas diabaikan hanya karena kita belum siap meninggalkan zona 
nyaman.

Akhir kata, menjadi kritis adalah keharusan. Tapi menjadi kritis yang cerdas adalah keniscayaan. Kritik haruslah bertujuan membangun, bukan menurunkan semangat inovasi. Jika hari ini kampus membuka jalan ke luar negeri, mari kita sambut dengan kesiapan dan dukungan. Jangan sampai kita menjadi generasi yang lebih pandai berkomentar daripada berkarya.

Kalau bukan kita yang mau terbang, jangan salahkan angin karena tak pernah mengangkat kita tinggi.