'Otak Busuk' Membentuk Kritikan Tanpa Etika
Ilham Alhafizh
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam
Beberapa waktu lalu beredar berita penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan inisial SSS pada Selasa, 6 Mei 2025. Penangkapan diduga karena menyebarkan meme prabowo dan jokowi yang tidak pantas diedarkan. Konten tersebut bermula dibuat melalui aplikasi Artificial Intelligence (AI) dan dipublikasikan di akun pribadi miliknya di twitter atau saat ini dinamakan X.
Kasus itu menyebabkan terjadinya polemik di mana pun. Tidak hanya di media massa, tetapi juga di media sosial pada smartphone atau barang digital yang masyarakat pegang. Pro-kontra tersebut menyebabkan kericuhan yang semakin menggebu-gebu dan harus diatasi segera. Kericuhan ini tidak hanya berdampak bagi yang terlibat, tetapi juga kepada siapa yang mengaksesnya.
Bagi pelaku menganggap bahwa meme yang dibuatnya adalah bentuk kritikan. Kritikan tersebut didasari atas responnya terhadap kepemimpinan Prabowo yang masih dibawah pengaruh mantan Presiden Jokowi. Akan tetapi, apakah konsep gambar yang dibuat adalah bentuk kritikan yang pantas? Bukankan kritikan itu adalah respon atau penilaian terhadap suatu? Dan bukankah kritikan itu diberikan demi kemajuan dan perkembangan?.
Setiap orang memang berhak mengkritik, apalagi juga telah dilindungi dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Namun, yang jadi permasalahan adalah cara mahasisiwi itu mengekspresikan ketidaksukaannya. Inilah mengapa bisa disebut sebagai mengkritik tanpa etika. Karena pada dasarnya suatu kebebasan berekspresi juga telah dibatasi, bahwa akan ada ancaman pidana apabila menyebarluaskan sesuatu yang melanggar kesusilaan.
Gambar yang dibuatnya tersebut terdeteksi mengandung tindakan kesusilaan, atau konten tidak senonoh dan tidak layak tayang. Ini dapat melanggar undang-undang yang mengaturnya, sebagaimana dalam Pasal 27 (1) UU ITE tentang kesusilan yang menegaskan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum”. Sanksi nya diatur dalam pasal 45 Ayat (1) UU ITE.
Memang benar bahwa kritikan adalah ekspresi, dan di Indonesia juga telah memberikan hak bagi masyarakatnya untuk berbicara dan berekspresi. Namun, kritikan bukanlah sesuatu yang ditujukan untuk menunjukan kesusilaan, melainkan menyatakan atau menggambarkan ketidaksukaan atau respon secara substantif dan solutif. Lain halnya apabila kritikan tersebut mengandung tindakan kesusilaan, dan ini melanggar etika bermedia sosial.
Perlu diingat bahwa kritikan tanpa etika adalah bentuk ekspresi tanpa pandang bulu. Etika berlaku guna mengatur sikap dan perilaku supaya dapat menjaga keharmonisan dan kenyamanan hubungan sosial.
Mahasiswa memang sangat diharuskan memiliki pemikiran yang kritis, apalagi terhadap sesuatu yang salah dan melanggar eksistensi, serta sesuatu yang merugikan personal maupun kelompok. Akan tetapi, pemikiran kritis bukanlah sesuatu yang bebas digunakan. Karena pemikiran kritis digunakan untuk sesuatu yang positif, berkreatif demi keharmonisan, dan memberikan sesuatu yang solutif dengan cara-cara yang tepat.
Maka dari itu, mahasiswa haruslah memiliki integritas tinggi dan menjunjung tinggi etika. Berekspresi dengan benar dan tetap menerapkan etika serta moral yang berlaku demi keamanan dan kenyamana dirinya. Tingkatkan kesadaran akan pentingnya kedua hal itu dalam kehidupan. Jadilah mahasiswa kritis yang etis.