Teknologi dan Anak: Siapa yang Mengendalikan Siapa?
Aditya Nugraha Pratama
Mahasiswa Manajemen Dakwah
Perkembangan teknologi yang begitu cepat membuat dunia anak-anak sekarang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Dulu, anak-anak identik dengan bermain bola, petak umpet, atau layang-layang di lapangan. Sekarang? Mereka lebih sering kita temui sedang asyik dengan tablet, gawai, atau nonton video di YouTube. Hal ini bikin kita bertanya-tanya: sebenarnya, anak-anak yang pegang kendali atas teknologi, atau justru teknologi yang perlahan-lahan mengendalikan mereka?
Jujur saja, teknologi memang memberikan banyak sisi positif, terutama dalam bidang pendidikan. Misalnya, anak bisa belajar berhitung, memahami bahasa asing, atau mengakses materi pembelajaran secara interaktif melalui video dan aplikasi edukatif. Bahkan ada beberapa platform yang menyediakan konten ramah anak. Kalau dipakai dengan bijak, teknologi bisa jadi alat belajar yang luar biasa. Tapi, syaratnya jelas: harus ada pendampingan dan arahan dari orang dewasa.
Sayangnya, tidak semua anak bisa mengatur diri saat berhadapan dengan gawai. Kita sering lihat anak kecil yang nangis, marah, atau ngambek kalau gawainya diambil. Ada juga yang bisa duduk berjam-jam tanpa gerak hanya karena main game atau scroll video. Ini jadi sinyal bahwa teknologi mulai mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh anak: bermain aktif, bergerak, dan bersosialisasi. Bahkan data menunjukkan bahwa jumlah langkah harian anak di Indonesia jauh di bawah standar negara-negara lain ini menjadi tanda bahwa aktivitas fisik mereka makin berkurang.
Jadi, siapa yang sebenarnya punya kendali? Pertanyaan ini menjadi serius. Kerana kalau dibiarkan kita bisa kehilangan generasi yang lebih sehat, aktif, dan punya kemampuan sosial yang baik. Tapi tentu saja, menyalahkan anak-anak bukanlah solusi. Mereka masih belajar, belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi perlahan mulai mengambil alih kendali, dan bukan lagi menjadi sekadar alat bantu.
Dalam situasi ini, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan anak-anak, karena kita sama-sama tahu bahwa pola pikir dan kemampuan mengontrol diri mereka belum sekuat orang dewasa. Kita juga tidak bisa menyalahkan teknologi sepenuhnya, karena pada dasarnya teknologi hanyalah alat. Yang perlu kita pertanyakan adalah: di mana peran orang tua dan guru dalam mendidik serta membimbing anak dalam penggunaan teknologi? Sebab pada dasarnya, anak-anak belum mampu memilah mana yang baik dan buruk, apalagi membatasi dirinya sendiri dalam berinteraksi dengan dunia digital.
Peran orang dewasa bukan cuma jadi pengawas, tapi juga pembimbing. Misalnya, orang tua bisa mulai dengan menetapkan waktu untuk anak bermain gadget, lalu ngobrol bareng tentang apa yang mereka tonton atau mainkan. Ini bukan soal melarang, tapi mengarahkan. Di sisi lain, anak juga tetap perlu diajak keluar rumah, main bareng teman-temannya, berkreasi dengan hal-hal non-digital supaya hidup mereka tetap seimbang yang nggak melulu soal layar.
Pada akhirnya, teknologi bisa jadi teman, bukan ancaman kalau kita tahu cara memanfaatkannya. Kuncinya ada pada literasi digital dan pendampingan. Kalau sejak kecil anak dibiasakan untuk bijak menggunakan teknologi, mereka bukan cuma jadi konsumen, tapi juga bisa tumbuh jadi generasi yang tahu arah dan bisa memegang kendali atas hidupnya sendiri meski dunia terus berubah jadi makin digital.